PEMBACA YANG BUDIMAN, KELANJUTAN CERITA INI ADALAH APA YANG LANGSUNG DITUTURKAN SAAT ITU OLEH BU SISKA, SAMPAI PADA ALENIA DIATAS, AKU MEMANG MENYERAHKAN PENUTURAN DAN PENULISAN CERITA INI PADANYA. SETELAH RONDE KEDUA TADI AKU MEMINTA IBU UNTUK MENUTURKANNYA SEHINGGA MALAM ITU KAMI MELAKUKAN-NYA SAMPAI PAGI, DISELINGI KISAH HIDUP YANG IA TUTURKAN PADAKU. JADI KATA-KATA SELANJUTNYA DALAM CERITA INI ADALAH PENUTURAN BELIAU LANGSUNG. SELAMAT MENIKMATI".
Brakk!!! Sebuah suitcase seberat kira-kira dua kilogram kubanting di meja ruangan kerja suamiku. Batinku sudah bertekat bulat saat itu, apapun yang terjadi, aku tidak terima atas peristiwa ini. Bayangkan sebagai istri yang begitu setia dan penurut, ternyata selama ini, pria tak tahu diri bernama Jimmy itu telah mentah-mentah menipuku! Aku memberikan semua yang kumiliki, warisan keluarga berupa tanah, perusahaan yang berkembang pesat, dan semua kemewahan milik keluarga kami telah kuberikan tanpa reserve kepadanya. Dan keparat itu baru kini kutahu punya simpanan dengan status yang tak tanggung-tanggung; ISTRI ke2 dan juga Ketiga!!!
Hari itu aku benar-benar marah, menyala mataku memandangnya, kutatap ia setajam-tajam yang kubisa, aku ingin tahu apa yang akan ia katakan dengan tindakanku yang mendatangi kantor dan langsung mendobrak pintu ruang kerjanya. Ditengah riuh panik karyawannya kuusir ia dari tempat itu dan dengan entengnya kukatakan "Pergi kau dari kehidupanku!!!"
Mataku merah-menahan tangis, perempuan mana sih yang tak murka jika mengetahui suaminya ternyata menyimpan dua istri selama lebih dari lima tahun dan sudah memiliki anak pula dari mereka"
Ia hanya terbengong seperti patung, mulanya ketika tadi aku mendobrak pintunya, ia sempat mendampratku juga. Tapi begitu aku menunjukkan apa isi suitcase yang kudapatkan dari rumah simpanannya itu, ia tak lagi sanggup menjawab. Kubiarkan pintu itu terbuka agar semua yang ada di kantor itu tahu betapa aku yang sebenarnya punya hak atas perusahaan ini.
Sampai di rumah, Austin, adikku yang menengahi kami. Ia memberi nasehat untuk kami agar berdamai saja. Mulanya aku menolak, tapi setelah menimbang apa yang dikatakan oleh Austin, akhirnya aku menerima juga. Anak-anak harus diselamatkan lebih dahulu, begitu Austin menasehatiku, sehingga kupikir logis juga kalau aku memberi tenggat lima tahun bagi Jimmy untuk tetap menyandang status sebagai suami sah ku. Tapi dengan catatan, sejak saat itu kukatakan padanya, dihadapan Austin, ia tak boleh lagi menyentuh tubuhku. Aku tak rela!!!
Sejak saat itu pula, aku aktif menagambilalih tugas-tugas managerial di perusahaan. Dan yang jelas, perusahaan milik keluargaku berkembang pesat sejak aku menanganinya. Jimmy kularang masuk ke kantor, ia tak lagi punya hak untuk mendapatkan penghidupan dariku. Aku sudah tak mau tahu ia akan melakukan apa untuk menafkahi kedua simpanannya, dirumahku ia hanya harus bersandiwara di depan anak-anak (kecuali Rina yang sudah mengetahui hal ini) dengan berpura-pura mesra dan penuh perhatian kepada mereka. Dan sejak saat itu pula aku bertekat untuk tidak lagi mengenal lelaki dalam hidupku, cukup sekali ini aku dikhianati. Terbukti dengan cara itu, perusahaan berkembang sangat pesat karena konsentrasi pikiranku jadi terfokus pada upaya Research and Development bisnis yang sekarang sudah go-Int"l ini.
Namun menjelang tahun ketiga sejak kami pisah ranjang, aku mulai berfantasi seksual, beberapa bulan aku sempat mengatasi bayangan-bayangan vulgar birahiku dengan cara self service. Beberapa alat bantu seks aku beli untuk memenuhi hasratku. Tapi lama kelamaan aku jenuh juga. Kuakui, sebagai perempuan normal, aku memang butuh kehangatan laki-laki. Tapi siapa? Ketika aku berpikir untuk mencarinya aku langsung dihantui trauma kehidupan rumah tanggaku yang hancur ini, bisa saja aku membayar gigolo yang banyak tersedia di tempat-tempat khusus di Jakarta ini, tapi apa iya bisa aman dan "higienis" Aku ragu sampai kemudian aku berpikir gila ketika suatu malam saat Budi, anak angkatku itu tertidur di sofa sehabis menonton TV aku secara tak sengaja melihat celah resluiting celana pendek yang ia kenakan masih terbuka. Mungkin anak itu lupa menutupnya ketika keluar dari kamar mandi tadi. Naluri kewanitaanku bereaksi begitu cepat, entah tenaga apa yang menggerakkannya sehingga dengan berpura-pura mendekati, aku meraba selangkangannya yang".. Wooow"my God! Tak kusangka, anak seumur Budi yang belum genap 15 tahun ini memiliki penis dengan ukuran yang melebihi ukuran penis suamiku. Sesaat aku terkesima, membelai". dan ketika Budi terbangun oleh belaianku itu, aku langsung mengalihkan tangan ke kepalanya sambil menyuruhnya tidur di kamar saja. Untungnya pada waktu itu Budi tak menyadari apa yang telah aku lakukan. Aku juga berlalu masuk ke kamar dan langsung masturbasi, membayangkan si Budi bersetubuh denganku, gila!!! Lebih gila lagi, aku sampai tiga kali melakukannya malam itu! Semenjak saat itu juga dengan segala kegilaanku, aku bermasturbasi secara teratur dengan menjadikan anak angkatku sebagai fantasi seksual, aku sangat menikmati kedekatanku dengannya, meski tak pernah aku berani mengatakannya secara jujur tapi setiap sentuhan fisik dengan anak angkatku itu aku selalu menikmatinya, berkhayal jika ia menindihku! Menyetubuhiku! Bahkan memperkosaku!. Dua tahun lebih hal itu berlangsung sampai kemudian, aku yang secara rutin mengamati perkembangannya dikejutkan oleh fakta bahwasanya Rani anak kandungku dan Budi anak angkatku itu menjalin hubungan sangat serius.
Waktu itu aku bingung, antara mendambakan Budi dalam fantasi seksualku dengan kasih sayangku pada Rani yang kutahu sangat mencintai Budi. Akupun percaya sepenuhnya, budi adalah type laki-laki yang setia. Mengamati kehidupan mereka seiring dengan fantasi seksualku terhadap Budi ternyata membuatku jadi terus berfikir antara meraih mimpiku dengan Budi atau memelihara hubungan anak kesayanganku dengannya. Dan, How lucky I am! Saat mereka sudah akan menamatkan SMAnya, Rani berkeinginan untuk kuliah di Luar Negeri mengikuti kakaknya. Kesempatan itulah yang kemudian aku pergunakan untuk menyusun strategi agar aku dapat lebih leluasa melampiaskan hasratku kepadanya.
Hari itu, seperti yang telah diceritakan oleh Budi sebelumnya, akhirnya aku mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk melakukannya. Dan ternyata Budi dengan antusias mau berbagi rasa asmara dengan aku, ibu angkatnya ini. Bahkan (sesuatu yang lupa ia tuliskan dalam chapter-nya) ia pernah mengatakan jika aku lebih menggairahkan dalam bercinta, dibanding anakku. Tapi aku tak ingin melanjutkan wacana itu karena kurasa hal itu akan mengganggu psikoseksual kami.
Yang sudah diceritakan oleh Budi tentu tak lagi akan kutuliskan disini. Aku hanya akan melanjutkan apa yang terhenti oleh penuturanku tadi.
Malam itu, tiga hari sejak keberangkatan anakku, aku merasa demikian istimewa. Sejak hari pertama sebenarnya aku begitu ingin disentuh, sebab sejak seminggu sebelum berangkat ke London, Rani dan Budi "berbulan madu". Aku sengaja meluangkan tempat dan waktu dengan cara bepergian mengurus beberapa action plan perusahaan yang telah kujadwalkan sebelumnya. Aku mengerti, disaat akan berpisah seperti itu mereka tentu perlu keadaan khusus untuk melakukan-ritual-ritual perpisahan yang akan selalu menjadi kenangan mengikat. Namun tiga hari setelah keberangkatannya, aku tak tahan lagi. Bayangan vulgar tubuh dan penis anak angkatku itu terlalu menggelitik instink seksualku. Aku yang biasanya disentuh Budi tiga hari sekali itu merasa sangat haus saat sepuluh hari sudah ia tak menjamah kehormatanku ini. Oh ya, aku menyebut alat kelaminku adalah kehormatanku karena hanya Budi lah lelaki selain Jimmy yang pernah menyentuhku. Dan apa yang diberikan Budi jauh melebihi dari apa yang kudapat selama bertahun-tahun dengan mantan suamiku itu. Secara apapun kuanggap Budi jauh lebih sempurna, apalagi kalau dibandingkan dari besaran fisik alat vitalnya, jelas, suamiku tak ada apa-apanya dibanding Budi.
Jam 3.30 dini hari, penuturanku yang panjang lebar itu baru berakhir. Budi dengan antusias mendengarnya. Sesekali ia terheran-heran dengan pengakuan polosku tentang hasrat seksual ibu angkatnya ini kepadanya. Sambil terus berpelukan, aku bertutur. Sesekali budi mencium, mesra sekali. Tangannya yang sedikit usil itu tak pernah lepas dari buah dadaku. Berkali-kali ia memuji dengan mengatakan sangat suka dengan payudara berukuran diatas rata-rata perempuan indonesia ini. Aku memang merawat tubuh dengan baik, meski tubuhku sedikit gemuk namun itu lebih dikarenakan faktor genotip saja. Budi pun sangat menyukainya, ia pernah mengatakan kalau ia lebih suka wanita bertubuh bongsor dan bahenol seperti aku.
Beberapa saat setelah habis menuturkan kisahku, Budi tampaknya ingin lagi. Luar biasa anak ini, aku sudah enamkali orgasme dibuatnya sejak awal tadi. Ini sudah hampir jam empat pagi. Dan jari-jari tangan kirinya masih asik mengorek-orek celah vaginaku yang belum lagi kering dari cairan orgasme kami.
"Mau lagi sayang?" sebuah pertanyaan yang sangat sering aku ucapkan saat habis bersenggama dengannya.
"ibu masih kuat?"
"iya dooong...," sahutku menunjukkan rasa senang atas perlakuannya di bibir kemaluanku. Tanganku meraih batang penisnya yang tampak sudah mengeras lagi. Itu yang kusuka dari penis lelaki muda ini, sudah tiga kali ia orgasme tapi masih saja keras dan tegak. Bahkan dengan gagahnya kini ia berjongok diatas wajahku dan menghadap kearah bawah tubuhku. Kelamin sakti itu disorongkan ke mulutku, aku mengerti keinginannya. The sixtynine! Sebuah gaya bercinta yang terus terang selama umur pernikahanku hanya khayalan saja! suamiku memang sering menonton film porno, tapi ia adalah lelaki yang tak punya fantasi seksual sehebat ini, dan sekarang, anak ingusan seumur Rani anak bungsuku ini memperlakukan aku yang 22 tahun lebih tua darinya bagai permaisuri dari kayangan, tak semilimeterpun sisi tubuhku yang tak pernah tersentuh lidah nakalnya. Bercinta dengannya bagaikan menemukan kembali kedahsyatan birahi pengantin baru, oase ditengah rasa haus yang menyengat bertahun-tahun impaslah sudah oleh tumpahan nafsu seksualnya dalam tubuhku, mungkin kalau tak terpikir perasaan anakku, sudah kubiarkan diriku mengandung anaknya dalam rahim ini.
Begitu kutangkap penisnya ia langsung menunduk dan membuka pahaku kearah berlawanan. Selanjutnya bisa ditebak, sperma bercampur cairan orgasme yang meluber dari rahimku itu habis disedot, dijilat dan ia telan bak kucing kehausan. Sruuupp... sruuupppsrupp clik clikk
"aaauuuhhhh sayaaaangggg mmmmmmm," aku menjerit merasakan sedotan mulutnya yang keras terhadap clitorisku. Sampai-sampai penisnya terlepas dari lumatan bibirku.
"ayooo buuuuu sama-sama ******tt uuuuhhh..yaaaahhh mmmm," sempat-sempatnya ia protes karena aku sejenak hanya mengocok dengan tanganku. Segera kumasukkan lagi, kulumat benda yang begitu kusenangi ini, aku seringkali gemas karena bentuknya yang panjang dan besar sekali. Kadang-kadang aku sengaja menggigit pelan dengan gigiku, akibatnya Budi berteriak-terik kegelian. Dan teriakannya itu selalu saja membuatku jadi semakin girang mendengarnya, sampai-sampai aku seringkali menimpali dengan teriakan histeria yang jorok dengan menyebut-nyebut alat kelamin kami, k*nt*lmu enaakhh! Entot m*mekku! Kata-kata yang begitu memacu aura seksual kami, kata-kata yang dulunya hanya kuucapkan dalam konteks ilmiah saja, itupun sambil berbisik. Tapi sekarang, sejak memasuki kehidupan seksual dengan Budi aku tak lagi canggung berteriak-teriak "remes, sedot susu ibu!, "genjot m*mek ibu yang keras!", "aduh enaknya k*nt*lmu sayang!".
Kami sama-sama puas setelah beberapa saat saling sedot, lalu seperti yang diminta Budi, aku menungging, ia bersiap dibelakangku, menusuk...sebuah gaya bercinta yang paling cepat membuatku orgasme.
"aaaahhhhhh...enaaakkhhh...sayaaaanggg..., kocok yang kerassshhh yaaahhhh,"
"ooouuhhh yesss!!! Gimaaaanaaahhh buuuu...hhhhh...apanyaaahh yang enaakh?"
"kontoooolmuuuuuhhhh sayaaaangg"ooohhh kontoolllmuuuhhh".k*nt*lmuhh!!!"
"meeemeeekkkkhhhh ibuuhhh juuuugaaahhh m*mekkk teeerrniiikkkmmaaatt ahh aahhh...aaahhh..oooohhhhh,"
sebuah suasana yang riuh dengan teriakan jorok dan kata-kata seronok itu sudah jadi hal biasa bagi kami. Budi terus menggenjot, daya tahannya luar biasa, kalau saja ini suamiku, tentu sudah sedari kocokan kesepuluh saja pasti langsung muncrat. Dengan Budi, Aku tak sanggup menghitungnya, ratusan bahkan ribuan kocokan penisnya dalam liang vaginaku tak juga membuatnya keluar. Jeritan-jeritannya menikmati jepitan vaginaku yang biasanya mampu melumpuhkan keperkasaan lelaki, tak berlaku baginya. Ia terus saja menusuk-nusukkan penisnya sepenuh hati, tanpa jeda, nonstop!
Tangannya kini dengan cekatan menjulur kedepan meraih buah dada besarku yang bergoyang-goyang seirama genjotannya. Aku tahu, Budi paling suka meremas-remas susu itu sejak pertama kali menikmatinya. Dan mungkin karena rutin diremas Budi itulah, susuku jadi terasa semakin besar saja. Padahal waktu belum dijamah Budi, susuku cukup kencang dan proporsional dengan bentuk badanku yang bongsor ini.
"hhhh...hahhh... Buuuddd," aku memanggilnya ditengah desahanku
"yyaaahhhh? mmmmhhh ssshhhh enaakkkhhh Buuuu, adaaa apaa?" sejenak ia berhenti
"Kamuuuhhh uuuhhhhh nggak takut kalo susu ibu kendor nantinya? Ooohhh,"
"semaakiiiinnnn seksiiiihhh aaahhh ayooohhh goyang lagi buuuuhhh, sampai kapanpun aaahhh sayaaahhh nggakk akan booosaaannn dengaaannn susuuuu daannn meeemeeekkk ibuuu,"
ia justru semakin keras meremas susuku. Aku yang gelagapan, rasa geli nikmat menjelang puncak lagi-lagi melandaku. Tak kuat lagi rasanya melawan keperkasaannya. Namun tiba-tiba pula ia berhenti bergoyang dan langsung melepaskan penisnya dari vaginaku.
"kok dilepas sayang?" aku terkejut senewen dengan rasa menggantung penasaran
"saya nggak mau ibu keluar secepat ini, saya mau kita keluar sama-sama," jawabnya santai kemudian berbaring telentang disampingku yang masih tak mengerti apa yang diinginkannya.
"ibu sudah nggak kuat lagi say, ibu tanggung nih, maunya cepat aja, kont*l kamu enak banget sih!?" gerutuku sambil juga berbaring. Ia memeluk dan memberiku ciuman hangat di bibir. Aku menyambut dengan antusias.
"Justru itu, saya tahu kalau ibu mau keluar karena m*mek ibu sudah mulai empot-empot punya saya,"
"trus gimana dong sayang, Masa kita harus stop lagi, tanggung ah!"
"nggak bu, sekarang ibu karaoke saya aja dulu," pintanya sambil mengacung acungkan penis yang masih saja tegak itu.
"oooo...itu maunya, baiklah. Tapi janji keluar sama-sama ya,"
"baik bu,"
tanpa menunggu lagi aku menerkam penisnya yang masih basah oleh cairan kelaminku itu, kukocok dengan tangan dan mulutku. Lidahku bermain di leher penisnya. Ah"luar biasa barang ini, penis yang selama ini selalu membimbingku meraih kepuasan surga asmara. Kukulum, kukenyot, menyedot, mengocok, menjilat biji telor dibawahnya dengan lidahku sampai sang empunya menjerit-jerit menahan geli.
"Ouuuussshhhh! aaaahhhh...aaahhh! ibuuuhhhh enaaakkk ******t terusshh,"
Crooopp!!! Kulepaskan sejenak,
"gimana say? enak mana sama sedotan Rani?" kembali aku melanjutkan
"iyaaa deeehhhh ooooouuuhhhh ibuuuuhhhh geeeliiii aaahhhh," jeritnya keras saat aku menggigit kecil. Rasakan! Emangnya kamu pikir cuma Rani yang bisa memuaskan kamu? Ah sekarang aku sangat egois, bahkan tak kupedulikan lagi anakku yang "pemilik sah" lelaki yang sedang bersetubuh denganku ini! Saat ini yang terpikir olehku adalah meraih kepuasan demi kepuasan seksual dari pemuda perkasa ini! Yang terpikir olehku hanyalah obsesi pemenuhan biologis di sisa umurku yang hampir setengah abad ini!
Aku terus mengocok dan mengulum sambil memejamkan mata, membayangkan keindahan dan kebahagiaan yang akan kami raih setidaknya untuk 4 tahun masa kuliah si Rani. Masalah bagaimana nantinya jika Rani kembali sebaiknya jangan kupikirkan dulu.
Oooohh"baru sepuluh menit mengulum penis besar ini, vaginaku sudah terasa gatal lagi! Gatal ingin digaruk-garuk oleh barang yang sekarang keluar masuk mulutku ini. Sementara pemiliknya terlihat merem melek sambil berteriak-teriak seperti orang gila!
"aaaahhhh...aaahhhh oooooouuuhhhhh ibuuuu...ibuuuu ayooohhh buuuu.. stooop duluuuhhh...masukinnnn keee memeekkknyaa ibuuu". Sayaaa hampiiiirrr," tangannya mencengkeram rambutku, menahan gerakan kepalaku yang maju mundur itu.
"baiklah say...ibu juga nggak tahaaan, sudaah gatalll niiihhh ama kont*l kamuuu,"
"iyaa buuuhh ayooohhh...,"
Aku segera mengambil posisi duduk berjongkok di pinggiran tempat tidur, berhadapan dengannya yang berdiri di lantai dengan posisi penis tepat di depan pangkal pahaku yang terbuka. Tak perlu lagi kusibak celah vaginaku, cairan yang meluber disana masih lebih dari cukup untuk memudahkan penis besarnya mencoblos masuk. Dan sreeppp blessss! kami langsung bergoyang maju mundur dengan cepat, mempertemukan dua alat kelamin di pangkal paha masing-masing, menghantarkan pemiliknya setahap-demi setahap meraih kenikmatan tiada tara itu.
"ooouuu yeeesshhh yeess yesss..yeesshhh m*mekku oohh tuhaan nikmaat nyaaaahhh...oooh my god oh my god oh my god kooontooolllmu enaaakkk saaayyy..oooh kontoolll kontoolll kontoolll kontoolll kontoooooolllllmuuuuhhhhh enaaakkkkkhhhhhh yeeessshhhh!!!!!"
"memeeekk ibuuuu buuuu m*mek ibuuu m*mekk enaaakhhhh!!!"
Tak ada lagi dialektika normal dari teriakan-teriakan histeria penuh nafsu itu, campur aduk dengan impuls-impuls kenikmatan surgawi yang maha dahsyat. Lucunya, meski menyadari sepenuhnya bahwa itu adalah perbuatan haram, aku seringkali menyebut-nyebut nama tuhan! Ah mulut hati tubuh dan mataku memang tak nyambung lagi disaat-saat seperti ini. Hanya ada satu kuasa diantara kami, kuasa nafsu birahi yang menjejal diantara pergesekan kelamin!
Saat itu kami baru pertama kali melakukan variasi seks dengan posisi ini, aku merasa, inilah posisi yang paling nikmat dari sekian banyak posisi bercinta yang pernah kulakukan seumur hidupku, aku bisa bebas mengatur gerak pinggulku yang secara otomatis pula mengatur pola sentuhan penisnya pada titik nikmat dalam liang vaginaku. Budi Juga bisa dengan leluasa meremas-remas payudaraku sambil berdiri atau sedikit menunduk untuk menyedot puting nya. Selanjutnya setiap melakukan hubungan badan dengan Budi, aku selalu memintanya melakukan posisi ini, my fave sex position!
"ooouuhhhsssffff buuudddi saayy...??"
"hhhhhiiiyaaahhh buuuuhhh..adaaa heehh apaahhh?"
"kaaamuuuhhh luaarrrbiaasaaahhh pooosiiisiiihhh iniiihhh enaaakkk koontool kamuuuhhh jaddiiihh lleeebiiihhh terasaaahhh!"
"ooohhhh iiiyaaahhhh buuuhhh meeemeeekkkkhhh iiibuuu juugaaahhh taammbahh niiikkkmmmaaattt"..ooohhhh iiibuuu maasiiihhhh lamaahhh?,"
"hhhh...ssss... sssseeeebeeeenntaaarrr laagiiihhh iiibuuu maauuuhh nyaaammmpeee..,"
"sssaaaaammaaa saaamaaahhhh..buuuuu saaayaaa juuugaaaa maauuuhhh muuncrraaaaattttthhh!! aaahhh memmeeekkkk hhhh iibuuuu taaammmbaahh enaaakkk aaazaaaa!!!"
Budi meraih pinggangku, hempasan pangkal pahanya semakin keras ke pangkal pahaku, penisnya terasa lebih masuk lagi dengan posisiku yang miring kebelakang dan kemaluan yang nyorong kedepan. Aku merasa sudah hampir, rupanya Budi juga sama, teriakannya semakin keras dan akhirnya...
"aaaaaaauuuuoooohhhhh... aduuuuhhhh iiibuuuu nggaaa tahaaaannnn ooohh keluarrr rrrrrrr keluaarrrr keeeeluaaarrr keeeluaaarrr iiibuuuuhhh keluaarrrr ooohhhh nikmatnya aaaaahhhhh ssshhhhh aaaaaaa aaaaaaaa aaaaaa aaaaaa aaaaaaahhhhhhhhhhhhhhh," kurasakan vaginaku mengejang dan mengeras, mengemut penis besar yang mengganjal dan menghujam itu. Tak lama setelah itu Budi juga berteriak panjang.
"ooooooooooo aaaaa aaaaaaaaahhhhhhh iibuuuuuuhhhh saaayaaa jugaaaaa keeeeluaaaaarrrr aaaaaaahhhh memeek meemmekk meemmeek ibuuuhh jepiit aaahhhhh niiiikkkkmaaaattt ouuuh aaaahhhhh!!! aaaahhhhh !!" jeritnya panjang
Terasa semburan panas menerpa dinding-dinding vagina dan rahimku, delapan, sembilan ooohh sepuluh sebelas aaahhh empat belas dan limabelas kali, luarbiasa!!! Banjir sudah liang senggamaku oleh spermanya yang tumpah begitu deras. Luarbiasa! Ini kali keempat Budi menumpahkannya di lubang kelaminku sejak awal malam tadi, penuh bahkan sampai meluber keluar tak tertampung.
Aku langsung ambruk lemas, disusul budi yang memelukku dari samping. Kami berciuman mesra, merasakan sisa-sisa kenikmatan lahir batin itu. Kami sama-sama lemas, ibu dan anak angkat! Berpacu dalam nafsu! Mulut kami tak mampu bicara, hanya desah lelah yang terdengar seperti berlomba meraih oksigen. Sama-sama lelah, letih, lesu, setelah berpacu meraih kenikmatan yang maha dahsyat dari jam 10 malam hingga jam 5 pagi itu! Tak bosan-bosannya aku bilang, Luarbiasa! Tak sanggup kuhitung berapa kali aku orgasme, yang jelas Budi sudah empat kali mengalaminya. Semuanya di dalam rahimku, padahal aku ingin sekali meminum spermanya. Kupikir pasti nikmat sekali, tapi aku khawatir Budi akan menolak jika aku minta, lain waktu aku harus mencobanya. Akan kuminum cairan dari kontoolll itu!!! Yaaahh!!! kontoolll Budi! kontoolll! Aku begitu senang mengucapkannya sekarang!
Kupeluk ia dalam dekapanku, kubelai rambutnya, lama-lama kami tertidur juga.
Sinar matahari membias dari ventilasi kamarku ketika aku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 12.30 siang, pantas saja aku lapar. Kucoba mengingat betapa semalam kami menghabiskan jutaan joule/detik energi untuk permainan seks itu. Kupandangi tubuh anak muda disebelahku, ah, wajahnya begitu damai, tubuhnya ideal, dan didalamnya tersimpan keperkasaan seorang lelaki pecinta sejati. What a great lover! Aku bersukur sekali, dengan usia yang 22 tahun lebih tua darinya, dengan segala kematangan jiwa yang kumiliki ternyata tak sanggup menandingi keperkasaannya di ranjang. Kucium ia sejenak dan mengenakan dasterku yang berserakan di lantai kamar. Aku melangkah gontai menuju washtafel dan menyiram wajahku dengan kesegaran air dingin. Uuh, kupandangi diriku di cermin, ternyata wajah ini masih terlalu banyak menyisakan kecantikan masa mudaku. Bahkan seperti yang seringkali Budi katakan, aku masih lebih menarik daripada Rani! GR juga aku dibuatnya. Mungkin ia benar tentang pengakuan polosnya yang lebih senang pada perempuan paruh baya seperti aku, wajarlah karena Budi tak pernah sempat merasakan kasih sayang seorang ibu sejak orangtuanya meninggal waktu ia masih kecil. Dan tanpa maksud menyombongkan diri, banyak rekan bisnis yang menaruh hati padaku, sekretarisku Maudy malah bilang aku punya inner beauty yang kuat sekali sehingga sering menarik perhatian pria. Dan aku memang mewarisi wajah mamaku yg asli Manado-Belanda, jadi wajarlah kalau dua adikku pun laku keras di blantika perfilman indonesia.
Budi tampaknya perlu istirahat banyak, kemarin ia tak sempat tidur sejak pagi hari. Aku sudah sempat tidur sejak pulang dari kantor jam 4 sore kemarin dan bangun oleh ulahnya jam 10 malam. Kuselimuti badannya yang masih telanjang itu, setelan aircon di kamar ini memang kupasang maxi sejak dinihari tadi saat kami berkeringat pasca indehoy. Budi tampak kedinginan. Sekali lagi kukecup pipinya dan beranjak ke lantai bawah menuju dapur. Makan siang sudah siap rupanya, tak ada siapa-siapa di ruang makan, aku memang mengatur pembantu untuk tidak memasuki rumah utama jika tidak kupanggil. Kecuali untuk menyajikan makanan pagi, siang, malam, dan saat cleaning service. Mereka kubawa dari kota asalku dulu di Indonesia Timur, kuberi rumah yang layak masih dalam lahan rumahku, di belakang gedung utama. Dua orang sudah berkeluarga dengan masing-masing satu anak yang tinggal bersama mereka dibelakang sana. Otomatis hanya aku dan Budi yang ada rumah induk sejak kepergian Rani. Kulihat menu makanan yang disajikan, cukup nikmat, aku langsung menyantap, karena kelaparan! Setelah itu kupanggil istri sopirku yang juga pembantu senior kami sejak dulu.
"Tin, tolong bawakan makanan ini ke depan kamar ibu, ya"" pintaku setelah menyisihkan beberapa makanan yang kutahu adalah favorit Budi. Ia senang sekali dengan masakan si Tini, ayam goreng ala Lombok dan sayur bening, beberapa buah juga dan segelas susu segar (hehehe padahal semalam kan Budi sudah puas netek susuku!).
Aku kembali ke kamar, tak kubiarkan tini masuk ke dalam, ia hanya mengantarkan makanan itu sampai di depan pintu kamar Rani yang memang bersebelahan dengan kamarku. Kututup kembali pintu kamarku dan pelan-pelan kubangunkan Budi.
"say, bangun nak, sudah siang menjelang sore... Maum dulu, ntar sakit gih,"
"huuuaaahhh emang jam berapa bu?"
"sudah makan dulu, ini sudah hampir jam dua siang,"
ia beranjak ke kamar mandi, ingin kuikuti dia karena dengan santainya melangkah tanpa busana didepanku. Aku jadi "gathaaal" lagi. Tapi ah, kuberi ia kesempatan untuk mengisi perut dulu. Aku memang berniat menjadikan tiga hari ini "bulan madu" kami. Kan kuumbar nafsu terpendamku kepadanya, sepuas hati! Tiga hari!!!
"makanannya apaan, bu?"
"sudahlah makan dulu, kamu nggak lapar?"
"Iya sih, tapi kok saya sendiri aja makannya?"
"ibu sudah tadi, kelaparan bangun tidur langsung makan,"
Ia masih saja telanjang, penisnya berayun-ayun seiring langkahnya, membuatku semakin horny.
"Saya mau makan kalau ibu juga buka baju," katanya tiba-tiba, aku bingung apa maksudnya. Kupandangi wajah polos itu dengan tatapan konyol.
"pokoknya ibu harus buka baju!" desaknya
"kamu ada-ada saja, ayo ah makan dulu," kataku mengacuhkannya sambil mencoba menyuapinya, ia duduk disebelahku di pinggiran tempat tidur. Bukannya menerima suapanku tapi melepas pengait dasterku.
"Budiii...aah," aku tak menyangka tangannya langsung meraih buah dadaku dan meremas.
"makan dulu sayang nanti kamu sakit," kali ini aku serius
"Buka dulu bajunya, biar sama sama telanjang,"
"iya deh buka aja sendiri, huuuhhh dasar gila!" kubantu membuka pengait BHku, CDku, dan kini aku benar-benar telanjang bugil gil ! fantasi apalagi yang akan ditunjukkannya padaku.
"ibu yang ngajarin!"
"yeee"mana pernah ibu ngajarin makan sambil telanjang," kucoba menyuapkan makanan, ia mau juga akhirnya. Tapi dasar usil, sambil makan ia membelai-belai dan meremas susuku, punggungku, bongkahan pantatku dan"
"Budiiihhh".jangan nakal ah!"
jari tengah tangan kanannya kini mengorek liang vaginaku. Meski sedikit kesal dengan tingkah usilnya aku sebenarnya senang juga. Luarbiasa anak muda ini, ada-ada saja caranya merangsangku.
"Geliiihhh uuuhhhffff sayang,"
"Bu, kenapa sih m*mek ibu enak gini?" katanya mengacuhkan aku yang menggelinjang, hampir saja makanan di piring itu tumpah.
"Budiii aah...abisin dulu makannya,"
"mau netek dulu," tangannya kembali meremas, kali ini dua buah dadaku dipegangnya, yang sebelah kiri malah ditarik putingnya.
"ouusshhh hhhh buuuddd aaahhhh," aku tak dapat lagi menahan geli-geli nikmat di selangkanganku. Tapi berhasil juga kupaksakan Budi menghabiskan sepiring nasi dan lauknya, lalu dengan tergesa kusingkirkan troli itu keluar kamar. Sejenak Budi menggosok gigi, aku bersiap di tempat tidur, sengaja kupasang gaya yang paling merangsang seolah menunggu untuk diterkam. Dan benar saja, dengan setengah berlari ia melompat ke atas tempat tidur dan langsung menunggangi aku. Tangan kirinya kebelakang mengorek celah vaginaku dan yang kanan meremas payudara. Aku tak mau kalah, penisnya yang tegang sedari tadi itu langsung kukocok dengan tanganku, akibatnya budi merem-melek keenakan.
Kubanting tubuhnya yang memang lebih kecil dari tubuhku itu lalu dengan cepat kutelentangkan dan menempatkan pangkal pahaku yang mengangkang tepat diatas wajahnya. Mulutnya langsung menyambar vaginaku, menjilat-jilat, mengecup-ngecup, dan menyedot klitorisku. Aku berteriak nikmat, sampai-sampai karena tak tahan gelinya, kuucel-ucel hidung Budi dengan m*mekku yang sudah sedari tadi banjir oleh liurnya.
"ooouhhh sayaangggggg ngggg ngggggg," hanya itu desahanku menahan rasa geli nikmat di vaginaku. Creek creekkk creekkk bunyi becek di wajah Budi yang tampak basah berlumuran cairan dari kelaminku.
"mmmhhh..sekaraaang kamuuuuhh puasshhhiinnn mainin m*mek ibuu buuud, ayyo oooohhhh hhhhhhhhhh hhhh ssss ssss aaah aahhhh aaauuhhh," aku semakin bersemangat melihat wajahnya yang seperti "dibasuh" oleh cairan kelamin itu. Tanganku tetap meraih batang penisnya yang tegang karena kocokanku yang semakin keras.
"oouuuuffff mmmmmm nyyymmmmm nnnyymmmm ayoooh buuuhhh masukin aja ke m*mek ibu! ooohhh," ia yang tak tahan lagi rupanya.
Padahal aku begitu menikmati ucel-ucelan di vaginaku. Kumundurkan tubuhku ke belakang, masih dengan gaya menunggang kuda, dengan cepat kuselipkan penis budi ke vaginaku dan seketika itu pula ia mendorong keatas sehingga penis besar yang sudah kencang itu langsung amblas tertelan.
"aaaaahhhhh buuuuudiiiiihhhhh oooohhhhhhh," aku menjerit seketika penis panjang dan besar milik anak angkatku itu melesak masuk dan memenuhi rongga vaginaku. Aku yang sekarang aktif bergoyang kiri kanan depan belakang dan turun naik.
Pantatku seringkali menghempas, tak tahan dengan rasa gatal akibat gesekan dinding-dinding vagina dan penis besar itu. Rasa yang selama dua bulan ini selalu menggelitik ruas-ruas yang menjadi titik lemahku secara seksual. Membangkitkan gelak energi libido seksualku.
Aku terus saja berteriak, menghempas, menjerit, bergoyang dan menari diatas tubuh budi yang tak bosan-bosannya memainkan buah dadaku. Rupanya, payudara besar ini adalah salah satu daya tarik tersendiri bagi Budi, sehingga setiap kali kami berhubungan badan tangan jailnya selalu memainkan putting-putting payudara itu sebagai pembuka maupun sepanjang permainan. Aku juga begitu menikmati permainannya yang kreatif dan selalu berubah-ubah sehingga jadi tidak membosankan. (di bagian lain akan kuceritakan juga "kreatifitas" anak angkatku itu dalam memainkan buah dadaku).
"ooohhh bu, ibuhhhh maasiiihh lamaaahhh?"
"masih sayang kali ini ibu ingin membuatmu puas," aku menghentikan gerakan turun naik pantatku sambil tetap bergoyang maju mundur perlahan. Vaginaku kubuat berdenyut untuk tidak melepaskan kenikmatan di penisnya.
"kalau begitu hhh gantiiiihhh gaaaa..yaaa..doooonggg buuuu, aahhh," budi masih men- desah patah-patah. Kutahu itu akibat impuls denyutan yang menyelimuti batang penisnya.
Kuangkat pinggulku dan menjauh, menunggu apa keinginannya. Sebagai wanita dewasa yang berpengalaman, aku ingin kali ini ia benar-benar merasa dilayani. Untuk memberikan image berbeda dengan apa yang ia biasa lakukan dengan anakku.
"coba ibu berbaring miring ke kiri," pintanya
"Begini?" aku menuruti dan mencoba menebak apa yang diinginkannya, kaki kananku kunaikkan dan menekuk kearah dada yang secara otomatis memperlihatkan bibir kemaluanku dari arah bawah.
"naahhhh! Begituuh benar-benar menggemaskan!" serunya girang melihat tingkahku yang seperti menantang untuk segera disetubuhi. Dengan sangat segera ia menerkam buas! Aku santai saja, aku bertekat yang penting tiga hari ini anak angkatku merasakan seluruh sari kenikmatan tubuh ibu angkatnya ini sepuas hati.
Ia berjongok tepat di belakangku, penis tegar itu menempel di bibir vagina, dan saat baru kepalanya masuk, Budi meraih buah dadaku, tangan kirinya mengangkat pahaku keatas sehingga liang kemaluanku semakin menganga. Mulai lagi ia menusuk keras dan langsung cepat. Crop.. crop..crek..crekk..
"my god! Niiikkmaaatnyaahhh sayaaaaangg!!" jeritku tertahan. Geli, nikmatnya penis ini mengocok liang vaginaku dari arah bawah. Tangannya meremas-remas sambil sesekali memelintir putting susuku. Aku berteriak sekeras-kerasnya, mengiringi setiap gerakan penisnya yang melesak keluar masuk. Namun kali ini tak seperti biasanya, kuhindari kata-kata jorok, menggantinya dengan kata-kata cinta yang mesra dan menggairahkan ayoooohh sssshhhh saaayaaang ouuhhh setubuhiiii ibuuuhhh sayaangg ooohhh nik maaatt nyaaahhhh goyaangaann muuuu uuuhhhh ooohhh ooohhh..ooohhh," desahku tiada henti. Sesekali, tangannya yang bebas meraba dan mengelus punggungku. Aku hanya bisa menikmatinya.
"ibuuuhhh..ooohhh..enakkkh sayaaang?" sempatnya Budi bertanya ditengah goyang pinggulnya yang semakin cepat .
"iiiiihhhh iiiyaaahhh saaayyaaangg ooohhh budii ihhh ooohhhh sayang ibuuhhhh saaayaaanggg kaaamuuhhh..ooohhhh yaaaahhhh,"
Budi rupanya tak tahan untuk tidak menyentuh wajahku, ia kemudian menunduk berusaha menjangkau wajahku yang terpejam, memberi ciuman mesra, awalnya mendarat di pipiku lalu ia melumat bibirku.
"oouuhhh buuuhhh ibuuhh caaantiiikk sekaaaliiihh," katanya memuji rona wajahku dengan mata terpejam. Aku memang sengaja mengatur ritme gerakanku untuk mengimbangi variasi seks appealnya yang begitu beragam. Kupikir, Budi pasti perlu sentuhan mesra seperti ini. Ternyata benar, sesaat kemudian ia kembali pada posisi normal. Menindih dengan pinggang terjepit pahaku. Langsung memeluk dan bergoyang lambat. Akupun tak kalah mesra memejamkan mata sambil menikmati lumatan bibirnya. Lidah kami silih berganti saling menjelajah rongga mulut masing-masing.
Sudah limabelas menit kami beradu seperti itu sampai kemudian aku yang duluan tak tahan, seperti biasa, tubuhku menegang keras. Kukepit tubuh budi erat sambil berteriak keras menikmati detik-detik orgasme itu, kugigit bahu Budi yang beberapa detik setelahnya tampak juga mengalami hal sama. Ditengah ketegangan yang memuncak itu ia menyedot putting susuku dengan keras, menghempaskan tubuhnya ke pangkal pahaku dengan kuat dan menghujamkan penisnya dalam sekali sampai mentok di dasar vaginaku.
"oooooohhhhhh...ibuuuuuuuu ibu..ibuu..ibuuu...sayaahh keluaaaaaaarrr!!!" jerit nya histeris. Di dalam sana aku merasakan semburan spermanya yang tetap saja deras muncrat memenuhi setiap cc ruang rahimku. Kira-kira semenit kemudian kami berdua lemas dan terkapar kelelahan. Baru kali ini aku bisa bertahan lebih dari duapuluh menit menghadapinya. Biasanya baru digoyang sepuluh limabelas menit saja aku sudah KO dan minta ampun.
Mungkin karena suasana yang terasa begitu bebas tanpa anakku si Rani. Semasih ia ada di rumah ini kami selalu main curi-curi waktu dan tempat, sehingga rasanya jadi kurang optimal. Selalu saja ada hambatan bagi kami untuk berlama-lama. Malah pernah karena aku yang tak tahan setelah mengintip mereka, kuminta Budi menyetubuhiku di ruang kecil bawah tangga dekat kamarku. Waktu itu Rani tertidur setelah puas dua kali oleh permainan Budi.
"Ibu beruntung sekali sayang...," kataku membuka pembicaraan saat nafas kami sudah mulai teratur.
"Saya juga, Bu, ibu adalah perempuan tercantik yang saya kenal," jawabnya dengan wajah serius sambil memainkan puting susu kesukaannya.
"mengada-ada kamu say, masak ibu yang jelek dan setua ini kamu bilang cantik"" aku balas meraih batang penisnya yang masih basah dibawah sana, kuraih tissue untuk mengeringkan. Lalu kutimang-timang benda yang sudah tak terhitung berapakali mengoyak liang vaginaku itu.
"eeeuuhhh..buuu ntar saya minta lagi lho?" katanya pura-pura protes saat tanganku memijit-mijit urat kecil yang tepat di leher kelaminnya bagian bawah.
"dikasih," jawabku pendek
"emang ibu kuat?" baliknya.
"itu kalau kamu tega lihat ibu pingsan diperkosa!" bisikku mesra ditelinganya.
"iya deeh, tapi jangan dikocok begitu dong, buuuu geli niiihh,"
"habis ngegemesin,"
"ibu juga cantik sekali," kali ini mukanya menatapku serius, kuyakin wajahnya yang imut itu bisa mempesonakan siapa saja yang ditatap.
"kamu juga cakep say, ibu takut kalau nanti ada cewek lain yang naksir trus kamu lupa sama ibu," kupelankan juga suaraku untuk memberi kesan serius padanya.
"Ngga mungkin bu, mana bisa saya melupakan ibu dan hhmmm...dan Rani," ia sedikit kikuk mengucapakan nama anakku. Perasaannya masih menyisakan keraguan menduakan hatinya kepadaku dan anakku. Aku bisa mengerti itu, lagi pula mana bisa aku merebutnya dari Rani, tidak mungkin lah. Sebagai justifikasi terhadap situasi ini, aku hanya bisa bilang pada batinku sendiri bahwa hubungan ini juga untuk mengikat si Budi terhadap keluarga kami.
Konyol juga aku, tapi ah sudahlah. Aku harus menutup rapat-rapat hubunganku ini, tak seorangpun boleh mengetahuinya. Ini rahasia kami berdua. Maka untuk itulah, sewaktu Budi meminta ijinku untuk menulis kisah ini, aku berpesan agar semua identitas dalam cerita ini disamarkan.
"Tapi kamu rela kan memberikan kenikmatan ini ke ibu?"
"asal kita bisa jaga rahasia ini, bu,"
"iya sayang, ibu janji akan menjaga rahasia kita,"
"saya juga bu," katanya sembari mengecup buah dadaku.
"trimakasih sayang," aku balas memeluk dengan lebih erat. Pelukan yang aku maksudkan untuk meyakinkannya bahwa aku benar-benar serius dengan semua ucapanku tentang hubungan kami. Tapi ternyata Budi menanggapinya berlebihan, ia melumat bibirku, bernafsu! Celaka, padahal betis dan pahaku serasa mau patah akibat permainan yang hampir tak ada jeda ini. Cairan sel telurku sepertinya habis sudah tumpah oleh belasan orgasme yang kuraih dari tusukan demi tusukan nikmatnya, badanku rasanya hampir remuk. Tapi aku juga tak ingin mengecewakannya, aku ingin memanjakan Budi dalam tiga hari yang sudah kuluangkan untuk itu. Dan gengsi juga rasanya kalau aku, yang pertama kali menginginkan pemuasan dahaga seksual ini harus menyerah. Jadinya aku pasrah saja, membiarkan nakalnya lidah Budi menjilati sekujur badanku, mulai dari keningku, lalu wajahku, bibir, leher, melompat jauh ke jemari kakiku yang dikulumnya satu-persatu.
Gila! Gila! Gila! pikirku. Anak ini memang luar biasa! Umurnya baru 18 tahun lebih, pengalamannya baru terhitung bulan, dan kini aku seperti koloni pemuas nafsu birahinya. Aku yang sudah 25 tahun menikah, dengan pengalaman seks yang lebih lama ini, seperti tak berarti apa-apa.
Karena gengsi itulah aku jadi pasrah saja, dan sepertinya Budi mengerti benar hal itu. Kali ini ia tidak memintaku macam-macam, padahal biasanya disaat petting saja aku dimintanya menungging dan ia menjilat susu dan vaginaku dari arah bawah. Tapi sekarang ia asik menikmati tubuhku yang lemas dan sepertinya ia juga suka itu. Sambil memegang erat buah dadaku yang tak cukup dalam genggaman sebelah tangan, dijilatnya habis veginaku yang sedari tadi sudah becek oleh tumpahan mani dan sperma kami itu.
Perlahan ia menaiki tubuhku, mengganjal kepalaku dengan dua buah bantal sehingga gampang baginya untuk mencium wajah, bibir dan buah dadaku. Mungkin ia mengerti juga bahasa tubuhku yang lemah itu, sehingga dengan perlahan dan mesra pula ia memasukkan penisnya kedalam vaginaku. Dan meskipun kenikmatan melanda tubuhku saat itu, aku hampir tak mampu lagi mengimbangi genjotan-genjotannya. Aku hanya sanggup mengatur tarikan saraf-saraf dinding vaginaku yang membuatnya merasa menikmati denyutan di sekeliling penisnya. Telapak tanganku berpasangan dengan telapaknya, diangkat keatas lalu dengan mesra pula dijilati dan diciumnya ketiakku. Sensasinya begitu indah, menambah gairahku yang hampir kehabisan tenaga ini. Dan selama duapuluh menit itu, kubiarkan ia menyetubuhi ibu angkatnya yang lemas ini, memuaskan dan kalau bisa menuntaskan birahinya yang menggebu melebihi apa yang biasa diberikannya pada anakku. Ya, lebih hebat dari apa yang diberikannya pada Rani.
Kemudian menjelang klimaksnya, dengan sisa tenaga yang masih ada aku mendekapnya erat, membenamkan wajahnya di kekeyalan buah dadaku. Ia menyambut dengan antusias, mendegus keras sambil menyedot putting susuku. Budi melepas, kurasakan nikmat tumpahan spermanya yang memuncrat dengan keras di relung rahimku. Sebagiannya bahkan tumpah membasahi sprei putih tempat tidur itu. Ahh..aku bahagia sekali. Beberapa saat ia menegang dan kemudian lemas juga. Kukecup bibirnya mesra, ia membalas sambil perlahan melepaskan cengkeraman vaginaku, lalu berbaring lemah.
"Puas sayang?" kataku membuka pembicaraan, sambil membelai rambutnya lembut.
"Trimakasih, bu. Saya puas sekali," ia berkata begitu sambil kembali menyembunyikan wajahnya di antara dua buah dada besarku.
"Istirahat dulu ya, sayang? Ibu lemas banget, kaki ibu rasanya mau copot," aku merajuk dan memohon. Ia mengangguk dan menciumku. Saat itulah aku pertama kali menyadari bahwa aku jatuh cinta pada anak angkatku ini. Aku tergila-gila pada pesona tubuh dan keperkasaannya! Oh tuhan, aku ingin terus dicumbu, disetubuhi, digauli bahkan diperkosa oleh anak ini! Aku tahu ini gila! Kegilaan yang terlalu nikmat untuk dihentikan!
Bersambung...
No comments:
Post a Comment